Sabtu, 03 Oktober 2009

Makna Sakinah

Istilah “sakinah” digunakan Al-
Qur’an untuk menggambarkan
kenyamanan keluarga. Istilah
ini memiliki akar kata yang
sama dengan “sakanun” yang
berarti tempat tinggal. Jadi,
mudah dipahami memang jika
istilah itu digunakan Al-Qur’an
untuk menyebut tempat
berlabuhnya setiap anggota
keluarga dalam suasana yang
nyaman dan tenang, sehingga
menjadi lahan subur untuk
tumbuhnya cinta kasih
(mawaddah wa rahmah) di
antara sesama anggotanya.
Di Al-Qur’an ada ayat yang
memuat kata “sakinah”.
Pertama, surah Al-Baqarah
ayat 248.
َلاَقَو ْمُهَل ْمُهُّيِبَن َّنِإ
َةَيَآ ِهِكْلُم ْنَأ ُمُكَيِتْأَي
ُتوُباَّتلا ِهيِف ٌةَنيِكَس
ْنِم ْمُكِّبَر ٌةَّيِقَبَو اَّمِم
َكَرَت ُلَآ ىَسوُم ُلَآَو َنوُراَه
ُهُلِمْحَت ُةَكِئاَلَمْلا َّنِإ
يِف َكِلَذ ًةَيَآَل ْمُكَل ْنِإ
ْمُتْنُك يِنِمْؤُم
Dan Nabi mereka mengatakan
kepada mereka:
“Sesungguhnya tanda ia akan
menjadi raja, ialah kembalinya
tabut kepadamu, di dalamnya
terdapat ketenangan dari
Tuhanmu dan sisa dari
peninggalan keluarga Musa
dan keluarga Harun; tabut itu
dibawa oleh Malaikat.”
Tabut adalah peti tempat
menyimpan Taurat yang
membawa ketenangan bagi
mereka. ayat di atas
menyebut, di dalam peti
tersebut terdapat ketenangan
–yang dalam bahasa Al-Qur’an
disebut sakinah. Jadi, menurut
ayat itu sakinah adalah
tempat yang tenang, nyaman,
aman, kondusif bagi
penyimpanan sesuatu,
termasuk tempat tinggal yang
tenang bagi manusia.
Kedua, al-sakinah disebut
dalam surah Al-Fath ayat 4.
َوُه يِذَّلا َلَزْنَأ َةَنيِكَّسلا
يِف ِبوُلُق َنيِنِمْؤُمْلا
اوُداَدْزَيِل اًناَميِإ َعَم
ْمِهِناَميِإ ِهَّلِلَو ُدوُنُج
ِتاَواَمَّسلا ِضْرَأْلاَو َناَكَو
ُهَّللا اًميِلَع ح
Dia-lah yang telah
menurunkan ketenangan ke
dalam hati orang-orang
mukmin supaya keimanan
mereka bertambah di samping
keimanan mereka (yang telah
ada). Dan kepunyaan Allah-
lah tentara langit dan bumi
dan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
Di ayat itu, kata sakinah
diterjemahkan sebagai
ketenangan yang sengaja
Allah turunkan ke dalam hati
orang-orang mukmin.
Ketenangan ini merupakan
suasana psikologis yang
melekat pada setiap individu
yang mampu melakukannya.
Ketenangan adalah suasana
batin yang hanya bisa
diciptakan sendiri. Tidak ada
jaminan seseorang dapat
menciptakan suasana tenang
bagi orang lain.
Jadi, kata “sakinah” yang
digunakan untuk menyifati
kata “keluarga” merupakan
tata nilai yang seharusnya
menjadi kekuatan penggerak
dalam membangun tatanan
keluarga yang dapat
memberikan kenyamanan
dunia sekaligus memberikan
jaminan keselamatan akhirat.
Rumah tangga seharusnya
menjadi tempat yang tenang
bagi setiap anggota keluarga.
Keluarga menjadi tempat
kembali ke mana pun
anggotanya pergi. Mereka
merasa nyaman di dalamnya,
dan penuh percaya diri ketika
berinteraksi dengan keluarga
yang lainnya dalam
masyarakat.
Dengan cara pandang itu, kita
bisa pastikan bahwa akar
kasus-kasus yang banyak
melilit kehidupan keluarga di
masyarakat kita adalah
karena rumah sudah tidak lagi
nyaman untuk dijadikan
tempat kembali. Suami tidak
lagi menemukan suasana
nyaman di dalam rumah,
demikian pula istri. Bahkan,
anak-anak sekarang lebih
mudah menemukan suasana
nyaman di luar rumah. Maka,
sakinah menjadi hajat kita
semua. Sebab, sakinah adalah
konsep keluarga yang dapat
memberikan kenyamanan
psikologis –meski kadang
secara fisik tampak jauh di
bawah standar nyaman.
Membangun Kenyamanan
Keluarga
Kenyamanan dalam keluarga
hanya dapat dibangun secara
bersama-sama. Tidak bisa
bertepuk sebelah tangan.
Melalui proses panjang, setiap
anggota keluarga saling
menemukan kekurangan dan
kelebihan masing-masing.
Penemuan itulah yang harus
menjadi ruang untuk saling
mencari keseimbangan.
Makanya, keluarga sekolah
yang tiada batas waktu. Di
sama terjadi proses
pembelajaran secara terus
menerus untuk menemukan
formula yang lebih tepat bagi
kedua belah pihak, baik
suami-istri, maupun anak-
orangtua.
Proses belajar itu akan
mengungkap berbagai misteri
keluarga. Lebih-lebih ketika
kita akan belajar tentang
baik-buruk kehidupan
keluarga dan rumah tangga.
Tidak banyak buku yang
memberi solusi jitu atas
problema keluarga. Sebab,
ilmu membina keluarga lebih
banyak diperoleh dari
pengalaman. Maka tak heran
jika keluarga sering
diilustrasikan sebagai perahu
yang berlayar melawan badai
samudra. Kita dapat belajar
dari pengalaman siapa pun.
Pengalaman pribadi untuk
tidak mengulangi kegagalan,
atau juga pengalaman orang
lain selama tidak merugikan
pelaku pengalaman itu.
Masalah demi masalah yang
dilalui dalam perjalanan sejak
pertama kali menikah adalah
pelajaran berharga. Kita
dapat belajar dari
pengalaman orang tentang
memilih pasangan ideal,
menelusuri kewajiban-
kewajiban yang mengikat
suami-istri, atau tentang
penyelesaian masalah yang
biasa dihadapi keluarga.
Semuanya sulit kita dapat dari
buku. Hanya kita temukan
pada buku kehidupan.
Bagaimana kita dapat
memahami istri yang gemar
buka rahasia, atau
menghadapi suami yang
berkemampuan seksual tidak
biasa. Dan masih banyak lagi
masalah keluarga yang
seringkali sulit ditemukan
jalan penyelesaiannya. Jadi,
memang tepat jika rumah
tangga itu diibaratkan perahu,
sebab tak henti-hentinya
menghadapi badai di tengah
samudra luas kehidupan.
Rumah tangga juga dua sisi
dari keping uang yang sama:
bisa menjadi tambang derita
yang menyengsarakan,
sekaligus menjadi taman
surga yang mencerahkan.
Kedua sisi itu rapat
berhimpitan satu sama lain.
Sisi yang satu datang pada
waktu tertentu, sedang sisi
lainnya datang menyusul
kemudian. Yang satu
membawa petaka, yang
lainnya mengajak tertawa.
Tentu saja, siapa pun
berharap rumah tangga yang
dijalani adalah rumah tangga
yang memancarkan pantulan
cinta kasih dari setiap
sudutnya. Rumah tangga yang
benar-benar menghadirkan
atmosfir surga: keindahan,
kedamaian, dan keagungan.
Ini adalah rumah tangga
dengan seorang nakhoda yang
pandai menyiasati perubahan.
Rumah menjadi panggung
yang menyenangkan untuk
sebuah pentas cinta kasih
yang diperankan oleh setiap
penghuninya. Rumah juga
menjadi tempat sentral
kembalinya setiap anggota
keluarga setelah melalui
pengembaraan panjang di
tempat mengadu nasibnya
masing-masing. Hanya ada
satu tempat kembali, baik
bagi anak, ibu, maupun bapak,
yaitu rumah yang mereka
rasakan sebagai surga.
Bayangkan, setiap hari jatuh
cinta. Anak selalu merindukan
orang tua, demikian pula
sebaliknya. Betapa indahnya
taman rumah tangga itu.
Sebab, yang ada hanya cinta
dan kebaikan. Kebaikan inilah
yang sejatinya menjadi
pakaian sehari-hari keluarga.
Dengan pakaian ini pula
rumah tangga akan melaju
menempuh badai sebesar
apapun. Betapa indahnya
kehidupan ketika ia hanya
berwajah kebaikan. Betapa
bahagianya keluarga ketika ia
hanya berwajah kebahagiaan.
Tetapi, kehidupan rumah
tangga acapkali
menghadirkan hal yang
sebaliknya. Bukan kebaikan
yang datang berkunjung,
melainkan malapetaka yang
kerap merundung. Suami
menjadi bahan gunjingan istri,
demikian pula sebaliknya.
Anak tidak lagi merindukan
orang tua, dan orang tua pun
tidak lagi peduli akan masa
depan anaknya. Bila sudah
demikian halnya, bukan surga
lagi yang datang, melainkan
neraka yang siap untuk
membakar. Benar, orang tua
tidak punya hak membesarkan
jiwa anak-anaknya, dan
mereka hanya boleh
membesarkan raganya. Tapi
raga adalah cermin
keharmonisan komunikasi
yang akan berpengaruh pada
masa depan jiwa dan
kepribadian mereka.
Lunturnya Semangat Sakinah
Membangun sakinah dalam
keluarga, memang tidak
mudah. Ia merupakan
bentangan proses yang sering
menemui badai. Untuk
menemukan formulanya pun
bukan hal yang sederhana.
Kasus-kasus keluarga yang
terjadi di sekitar kita dapat
menjadi pelajaran penting dan
menjadi motif bagi kita untuk
berusaha keras mewujudkan
indahnya keluarga sakinah di
rumah kita.
Ketika seseorang tersedu
mengeluhkan sepenggal
kalimat, “Suami saya akhir-
akhir ini jarang pulang”, tidak
sulit kita cerna maksud utama
kalimatnya. Sebab, kita
menemukan banyak kasus
yang hampir sama, atau
bahkan persis sama, dengan
kasus yang menimpa wanita
pengungkap penggalan
kalimat tadi.
Penggalan kalimat di atas
bukan satu-satunya masalah
yang banyak dikeluhkan istri.
Masih banyak. Tapi kalau
ditelusuri akar masalahnya
sama: “tidak tahan
menghadapi godaan”. Godaan
itu bisa datang kepada suami,
bisa juga menggedor jagat
batin istri. Karena godaan itu
pula, siapa pun bisa membuat
seribu satu alasan. Ada yang
mengatakannya sudah tidak
harmonis, tidak bisa saling
memahami, ingin mendapat
keturunan, atau tidak pernah
cinta.
Payahnya, semakin hari
godaan akibat pergeseran
nilai sosial semakin
menggelombang dan
menghantam. Sementara,
ketahanan keluarga semakin
rapuh karena ketidakpastian
pegangan. Maka, kita dapati
kasus-kasus di mana seorang
ibu kehilangan kepercayaan
anak dan suaminya. Seorang
bapak yang tidak lagi
berwibawa di hadapan anak
dan istrinya. Anak yang lebih
erat dengan ikatan komunitas
sebayanya. Bapak berebut
otoritas dalam keluarga
dengan istrinya, serta istri
yang tidak berhenti
memperjuangkan hak
kesetaraan di hadapan suami.
Semua punya argumentasi
untuk membenarkan
posisinya. Semua tidak merasa
ada yang salah dengan semua
kenyataan yang semakin
memprihatinkan itu.
Tapi benarkah perubahan
zaman menjadi sebab utama
terjadinya pergeseran nilai
dalam rumah tangga? Lalu,
mengapa keluarga kita tidak
lagi sanggup bertahan dengan
norma-norma dan jati diri
keluarga kita yang asli?
Bukankah orang tua-orang tua
kita telah membuktikan
bahwa norma-norma yang
mereka anut telah berhasil
mengantarkan mereka
membentuk keluarga normal
dan berbudaya, bahkan
berhasil membentuk diri kita
yang seperti sekarang ini?
Lantas, kenapa kita harus
larut dengan segala riuh-
gelisah perubahan zaman
yang kadang membingungkan?
Transformasi budaya memang
tidak mudah, bahkan tidak
mungkin, kita hindari. Arusnya
deras masuk ke rumah kita
lewat media informasi dan
komunikasi. Kini, setiap sajian
budaya yang kita konsumsi
dari waktu ke waktu, diam-
diam telah menjadi standar
nilai masyarakat kita. Ukuran
baik-buruk tidak lagi
bersumber pada moralitas
universal yang berlandaskan
agama, tapi lebih banyak
ditentukan oleh nilai-nilai
artifisial yang dibentuk untuk
tujuan pragmatis dan bahkan
hedonis. Tanpa kita sadari,
nilai-nilai itu kini telah
membentuk perilaku sosial
dan menjadi anutan keluarga
dan masyarakat kita. Banyak
problema keluarga yang
muncul di sekitar kita
umumnya menggambarkan
kegelisahan yang diwarnai
oleh semakin lunturnya nilai-
nilai agama dan budaya
masyarakat. Masyarakat kini
seolah telah berubah menjadi
“masyarakat baru” dengan
wujud yang semakin kabur.
Gaya hidup remaja yang
berujung pada fenomena MBA
(married by accident) telah
jadi model terbaru yang
digemari banyak pasangan.
Pernikahan yang dianjurkan
Nabi menjadi jalan terakhir
setelah menemukan jalan
buntu. Sementara perceraian
yang dibenci Nabi justru
menjadi pilihan yang banyak
ditempuh untuk menemukan
solusi singkat. Kenyataan ini
merupakan bagian kecil dari
proses modernisasi kehidupan
yang berlangsung tanpa
kendali etika. Akibatnya,
struktur fungsi yang sejatinya
diperankan oleh masing-
masing anggota keluarga
tampak semakin kabur.
Seorang anak kehilangan
pegangan. Ibu-bapaknya
terlalu sibuk untuk sekadar
menyapa anak-anaknya. Anak
pun dewasa dengan harus
menemukan jalan hidupnya
sendiri. Mencari sendiri ke
mana harus memperoleh
pengetahuan, dan harus
mendiskusikan sendiri siapa
calon pendampingnya.
Semuanya berjalan sendiri-
sendiri. Padahal, jika sendi-
sendi keluarga itu telah
kehilangan daya perekatnya
dan masing-masing telah
menemukan jalan hidupnya
yang berbeda-beda, maka
bangunan “baiti jannati”,
rumahku adalah surgaku,
akan semakin menjauh dari
kenyataan. Itu menjadi mimpi
yang semakin sulit terwujud.
Bahkan, menjadi mimpi yang
tidak pernah terpikirkan. Yang
ada hanyalah “neraka” yang
tidak henti-hentinya
membakar suasana rumah
tangga.
Satu lagi yang sering menjadi
akar bencana keluarga, yaitu
anak. Dunia anak adalah
dunia yang lebih banyak
diwarnai oleh proses
pencarian untuk menemukan
apa-apa yang menurut
perasaan dan pikirannya ideal.
Dunia ideal sendiri, baginya,
adalah dunia yang ada di
depan matanya, yang
karenanya ia akan melakukan
pengejaran atas dasar
kehendak pribadi. Akan
tetapi, di sisi lain,
perkembangan psikologis yang
sedang dilaluinya juga masih
belum mampu memberikan
alternatif secara matang
terutama berkaitan dengan
standar nilai yang
dikehendakinya. Karena itu,
selama proses yang dilaluinya,
hampir selalu ditemukan
berbagai perubahan sesuai
dengan tuntutan lingkungan
tempat di mana anak itu
berkembang. Di sinilah proses
bimbingan itu diperlukan,
terutama dalam ikut
menemukan apa yang
sesungguhnya mereka
butuhkan.
Guru di sekolah ataupun
orang tua di rumah, secara
tidak sadar, seringkali menjadi
sosok yang begitu dominan
dalam menentukan masa
depan anak. Padahal, guru
ataupun orang tua bukanlah
segala-galanya bagi
perkembangan dan masa
depan anak. Proses
pendidikan, dengan demikian,
pada dasarnya merupakan
proses bimbingan yang
memerdekakan sekaligus
mencerahkan. Proses seperti
itu berlangsung alamiah
dalam kehidupan yang bebas
dari ikatan-ikatan yang justru
tidak mendidik. Dalam
kerangka seperti inilah, maka
keluarga bisa berperan
sebagai lembaga yang
membimbing dan
mencerahkan, atau juga
sebaliknya. Jika tidak tepat
memainkan peran yang
sesungguhnya, bisa saja
berfungsi sebagai penjara
yang hanya mampu
menanamkan disiplin semu.
Anak-anak bisa menjadi
manusia yang paling shalih di
rumah, tetapi menjadi
binatang liar ketika keluar
dari dinding-dinding rumah
dan terbebas dari pengawasan
orang tua.
Dalam situasi seperti inilah,
anak mulai mencari
kesempatan untuk memenuhi
kebuntuan komunikasi yang
dirasakannya semakin kering
dan terbatas. Sebab
berkomunikasi untuk saling
menyambungkan rasa antar
anggota keluarga merupakan
kebutuhan dasar yang
menuntut untuk selalu
dipenuhi. Konsekuensinya,
ketidaktersediaan aspek ini
dalam keluarga dapat
berakibat pada munculnya
ketidakseimbangan psikologi
yang pada gilirannya dapat
saja mengakibatkan terjadinya
penyimpangan-penyimpangan
sosial seperti apa yang terjadi
di masyarakat sekitar kita.
Inilah di antara kerusakan
akibat lunturnya atmosfir
sakinah dalam keluarga.